Majelis Klaten - Terlepas dari kekurangan masing-masing baik Trans7 maupun Lirboyo, pada uraian ini akan dibahas mengenai titik urgensi permasalahan yakni metode pengajaran. Pasca berakhirnya Perang Jawa dengan ditipu dan diasingkannya Pangeran Diponegoro, Belanda melalui berbagai cara berusaha memisah Islam dengan Jawa. Jika memandang Islam maka akan terlihat berbeda dengan Jawa, begitu pula sebaliknya, sampai lahir istilah Priyayi, Santri dan Abangan. Bahkan dalam Serat Rerepen Pakubuwana X dari Surakarta menegaskan jangan sampai memisahkan Islam dengan Jawa, Jawa dengan Islam karena pergumulan ini telah diatur kadar komposisinya dengan baik oleh Para Walisongo.
Kemudian selain pemisahan Islam dengan Jawa, muncul lagi gesekan dari modernisasi yang memandang Islam Jawa sebagai sosok yang kuno dan ketinggalan zaman. Kaum yang modernis ini kemudian mengganti total semua tatanan sosial masyarakat dengan persis seperti Barat, termasuk di dalamnya sistem pendidikan.
Kyai Agus Sunyoto pernah menyampaikan bahwa sistem pendidikan pesantren merupakan model pendidikan asli Nusantara. Para Walisongo tidak serta-merta mengganti sistem metode pendidikan sebelumnya dengan ala Timur Tengah namun dimantabkan lagi sehinga menjadi model pesantren. Kurikulum pesantren tidak saja mengajarkan ilmu-ilmu tentang Al Qur’an dan Hadits saja tetapi juga aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari yang termuat dalam kitab dan buku yang nantinya dikenal sebagai Kitab Kuning.
Corak pendidikan ala pesantren jelas berbeda dengan corak pendidikan ala Barat yang dibawa para penjajahan. Metode pendidikan ala Nusantara secara gamblang disampaikan oleh Mangkunegara IV dari Surakarta:
Dedalane guna lawan sekti, (Jalan bagi pencari ilmu lahir dan ilmu batin)
Kudu andhap asor, (Harus rendah hati)
Wani ngalah luhur wekasane, (Berani mengalah akan mulia di akhirnya)
Tumungkula yen dipun dukani, (Menunduklah jika dimarahi)
Bapang den simpangi, (Hindari segala resiko negattif)
Ana catur mungkur. (Jika ada percakapan tidak penting, pergilah)
Bahwa metode pendidikan Nusantara yakni Islam dan Jawa tidak hanya berorientasi pendidikan keilmuwan duniawi secara fisik semata, namun juga tentang spiritualitas. Watak seorang murid jika telah menyakini terhadap Guru wajib untuk taat dan menerima perintah serta nasihat dengan rendah hati. Dan pula harus menghindarkan diri dari banyak omongan yang tidak penting, karena terkadang ilmu membawa keangkuhan tidak tidak dibarengi akhlak yang baik.
Laku perjalanan pendidikan oleh Orang Jawa tercermin dalam perjalanan Bratasena untuk mencari kesejatian hidup, Tuhan yang Sejati dan kesempurnaan mati dalam lakon Dewa Ruci. Ketika Bratasena yakin terhadap Gurunya yakni Durna, maka perintah apapun akan dilakukan. Walaupun Durna atas perintah Duryudana dipaksa untuk menyesatkan Bratasena, tetapi Bratasena tulus ikhlas melaksanaknnya dan pada akhirnya bertemu dengan Maha Gurunya yakni Dewa Ruci.
Namun, Mangkunegara IV menegaskan bahwa “ngelmu iku kalakone kanthi laku” bahwa ilmu jika tanpa ditirakat dan dilaksanakan untuk bermanfaat kepada masyarakat, maka ilmu itu tidak ada gunanya. Bahwa ilmu bukan soal huruf, angka dan tanda baca, bisa menulis, membaca dan menghafal saja, karena itu kering dan hambar. Melainkan ilmu itu sebagai alat yang dinamis untuk memberikan kemanfaatkan bagi sekitarnya. (Minardi)

0 Komentar