Majelis Klaten - Nahdlatul Ulama (NU) didirikan oleh Hadlatussyaikh KH Hasyim Asy'ari untuk mewadahi ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama'ah dan mengakomodir tradisi yang berkembang di tengah masyarakat. Jika dikembalikan dalam sejarahnya, dibentuknya NU karena 'dipaksa' oleh keadaan zaman saat itu. Ketika menjelang keruntuhan Kesultanan Turki Utsmani, yang merupakan Kekhilafahan Islam Terakhir, oleh agenda Inggris, dibantu virus Nasionalisme oleh Mustafa Kemal Pasha, disokong oleh Ibnu Saud dan dikuatkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Puncaknya terjadinya Perang Dunia I, lalu berkobarlah pendirian Kerajaan Arab Saudi dengan raja pertamanya Ibnu Saud dengan faham keagamaannya dari Muhammad bin Abdul Wahhab dengan aliran Wahabinya.
Ibnu Saud ini menghancurakan situs-situs warisan Islam sejak Rasulullah SAW, sehingga membuat Turki yang hampir hancur itu menyelamatkan warisan Islam itu ke Turki. Salah satu agenda penghancuran yang dilakukan Ibnu Saud yakni menghancurkan Makam Nabi Muhammad SAW. Tersentaklah Ummat Islam di Nusantara, Hadlatussyaikh KH Hasyim Asy'ari mengutus KH Wahab Hasbullah untuk menghadap Raja Ibnu Saud untuk memprotes rencana penghancuran Makam Nabi Muhammad SAW. Berawal dari sanalah Organisasi Nahdlatul Ulama berdiri. NU secara organisasi berdiri memang tahun 1926 tetapi secara faham telah ada sejak Nabi Muhammad SAW.
Dari kisah ini seharusnya menjadi keteladanan bagi setiap pengurus NU, warga NU dan semua yang mengaku NU. Kyai Ali Maksum Kraprak pernah ngendika: tidak semua yang mengaku NU akan berjuang untuk kejayaan NU. Dewasa ini, semenjak Hari Santri Nasional digelorakan, semenjak majelis-majelis sholawat disemarakkan, berbondong-bondong masuk NU, minimal mengaku NU. Sesungguhnya fenomena itu merupakan capaian yang menggembirakan, yang awalnya NU dijauhi, dianggap kuno, tiba-tiba viral dan disukai banyak orang.
Namun, jika hanya sekedar suka namun tidak mengikuti jalan dan berjuang demi Kejayaan NU itu tidak cukup. Berjuang demi kejayaan NU sama halnya dengan berjuang untuk kejayaan Tradisi Masyarakat Nusantara. Karena hanya NU lah yang secara serius merawat dan membela semua tradisi Islam Nusantara.
Perjuangan untuk kejayaan NU tidak sekedar melalukan tradisi Islam, NU dan Jawa (Nusantara) saja. Tetapi juga bergerak dalam ranah politik, tetapi bukan sekedar politik praktis melainkan politik kebangsaan. Misalnya, dalam pemilihan Umum, dalam Pilkada, termasuk pemilihan Kepala Desa, pastinya banyak calon yang tampil dengan berbagai latar belakangnya. Sebagai Pengurus NU, Wong NU, dan yang mengaku NU, seharusnya tidak memilih calon yang tidak sama sekali berjuang untuk kejayaan NU. Bisa dilihat latar belakang ormas, faham, aliran dari para calon. Tidak akan mungkin calon dari ormas Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) akan berpihak serius untuk kejayaan NU, karena calon tersebut akan membela dan memperjuangkan LDII nya. Kita tahu LDII merupakan ormas yang tidak akomodatif dan sering menjelekkan amaliyah NU. Selain latar belakang calon, perlu diperiksa susunan partai politik pendukungnya. Ada tidak, partai politik yang selam ini justru menjelekkan amaliyah NU dan tradisi Nusantara. Lebih aman memilih calon yang biasa saja dengan NU, daripada calon yang malah merusuhi NU.
0 Komentar